Penikam Sekh Ali Jaber di Mata Ibu dan Tetangga di Lampung

BANDARLAMPUNG (18/9/2020) – Gang Kemiri, Jalan Tamin, Tanjungkarang Barat, Bandarlampung sepi, Jumat Siang, 18 September 2020, setelah sehari sebelumnya ramai saat rekonstruksi penikaman Sekh Ali Jaber.

Di sanalah Alpin Andrian, lajang 24 tahun, lahir dan dibesarkan. Ia kini menjadi sorotan karena menikam Sekh Ali Jaber saat wisuda hapidz Quran di Masjid Falahudin, yang berjarak 300 meter dari rumahnya, Minggu 13 September .

Agak susah menemui keluarganya dalam sepekan. Namun, kebetulan, ibu kandungnya, Yayat Rohayati, datang dari Jambi, memenuhi panggilan Satreskrim Polresta Bandarlampung, Jumat 18 September 2020.

Berhijab warna maroon, sang ibu mengaku mereka sekeluarga shock mendengar Alpin berencana membunuh Sekh Ali Jaber.  

Seingat dia, salah satu dari tiga anaknya itu, mulai bermasalah Tahun 2015 sejak ia  menjadi TKW di Hongkong. Jika ditelepon, tak ada lagi ucapan alaikumsalam, dan seolah-olah sudah tidak kenal dirinya sebagai ibu kandung.

Alpin dianggap keluarga depresi saat sang ibu berpisah dengan suaminya. Ia selalu merasa bising jika mendengar azan, apalagi suara mengaji dari masjid.

Mereka memutuskan mengobatinya ke sebuah klinik. Namun karena tak kunjung sembuh, membawanya ke kampung halamannya di Lampung Tengah, diobati seorang kiai.

Alpin sembuh. Ia kembali ke lingkungan neneknya di Jalan Tamin Bandarlampung. Kontrol sang ibu lepas. Penikam Sekh Ali Jaber itu sempat beberapa kali berencana bunuh diri, dengan menyilet lehernya, sehingga di mata keluarga lajang berusia 24 tahun itu gila.

Kurangnya warasnya Alpin juga diketahui tetangga sekitar. Deswati, wanita pemilik warung berusia 59 tahun, melihat anak itu tidak lagi bergaul. Kalaupun tampak, sekedar membeli rokok atau jajan.

Jumiwati, tetangga Alpin berusia 61 tahun, melihat lajang berusia 24 tahun itu tidak seperti orang gila lainnya, seperti mengamuk di rumah, apalagi ke tetangga.  Ia hanya melihat anak itu merepotkan neneknya, yang bersahaja, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

DEDI KAPRIYANTO

0 comments:

Posting Komentar