Semalam di Pesagi, Tanah Haram Pendekar Lampung

LIWA (22/9/2020) – Bagi para pendaki, Gunung Pesagi bukan barang baru lagi. Hampir tiap pekan mereka datang ke gunung tertinggi di Lampung itu, meski jaraknya 290 km atau 9 jam dari Bandarlampung, 214 km dari Kotabumi, atau 106 km dari Liwa, ibu kota Lampung Barat.

Namun bagi rombongan kami bersembilan, yang terdiri dari kuli tinta, polisi, petugas lapas, menjajal gunung setinggi 2.262 Mpdl itu, Sabtu 19 September 2020, membawa kesan-kesan yang berbeda.
 
Maklum, ada yang ingin tahu semistis apa kawasan Kerajaan Sekala Brak, yang berdiri pada abad 5 Masehi itu. Bagaimana rasanya bermalam di Tanah Haram para pendekar tersebut. Sesejuk apa minum air tujuh sumur dan pancuran mas, yang sering menjadi obat bagi warga sekitar.

Setiap melangkah pun pakai bismillah dan membaca surah al-fatiha. Bacaan itu diulang-ulang saat masuk kawasan gunung Pesagi, atau saat menapak keterjalan, apalagi untuk mencapai tujuh sumur mesti pakai tali, karena kemiringannya mencapai 90 derajat.

Untung, rombongan, yang sehari-hari akrab dengan kepadatan rutinitas itu dipandu Yosep, yang sudah seringkali ke sana. Ternyata ada juga porter yang bisa disewa membawa barang, terutama perlengkapan tidur di suhu antara 5 sampai 12 derajat celcius.

Kami berangkat pukul 10.50 pagi dari Kotabumi, Lampung Utara, dan baru tiba di puncak Gunung Pesagi pukul 16.00 sore, lewat Jalan Lintas Tengah dan memilih mendaki lewat Hujung, Kenali. Tidak dari Liwa.

Kecuali Yosep, semuanya tertidur lelap  malam itu. Perjalanan pagi harinya lebih berat menuju sumur tujuh dan pancuran mas. Selama hampir dua jam, kami bergantung ke tali, menuruni tebing terjal, yang mencapai 90 derajat.

Seluruh rombongan mandi di Pancuran Mas. Lagi-lagi dengan cara, niat,  dan bacaan masing-masing. Tetapi saat pulang dengan selamat, tiba kembali di Hujung,  Kenali, semua kompak mengucapkan Allahu Akbar.

ADI SUSANTO

1 comments: