Yanto, sang nelayan, baru saja pulang mencari ikan. Ia kurang beruntung pada hari itu. Hanya beberapa ikan kecil yang ia peroleh. Cukup untuk makan malam, tapi tak seekor pun bisa untuk dijual untuk membeli beras.
Isterinya, sedang berada di sungai. Karena mereka tidak memiliki MCK, seluruh aktivitas menyuci, mandi, dan buang air, dilakukan di sana.
Keluarga Yanto termasuk paling prihatin di RT 9 RW 5, Sungai Buaya, Rawajitu Utara, Mesuji.
Mereka memang memiliki rumah berukuran empat kali enam meter, tapi dindingnya terbuat dari daun nipah, atapnya dari karpet bekas tambak, dan lantainya masih beralaskan tanah, meski tampak tetap rapi karena ditutupi tikar.
Karena banyak nyamuk, kamar tidur satu-satunya untuk anak ditutupi dengan kelambu bekas pemberian orang. Tempat tidur terbuat dari kayu bekas dan kasurnya sudah terlalu tua dan wajib dijemur sekali sepekan.
Di sanalah Yanto hidup bersama isteri dan dua anaknya. Rumah itu sering bocor pada musim hujan. Mereka juga sering mengungsi jika sungai pasang. Listrik menumpang dengan rumah yang lain. Dapur berada di luar. Masak dengan tungku, karena belum mampu membeli gas.
Tinggal di kawasan tersebut lebih dari 20 tahun, Yanto hanya bisa menjadi nelayan. Perubahan iklim dan lingkungan membuat ikan di sana makin susah diperoleh. Apalagi ia hanya memiliki perahu dayung, hanya bisa memutar di areal sungai sekitar.
Meski prihatin, Yanto mengaku tidak tergolong keluarga miskin di kawasan itu. Meski kadang-kadang memperoleh beras, keluarga tersebut tidak memperoleh PKH, BPNT, atau jenis bantuan lainnya, termasuk untuk anak sekolah.
Tokoh masyarakat Dusun 5 Sungai Buaya, Sriharto, mengakui keprihatinan keluarga Yanto. Ia juga bingung kenapa Pemerintah luput mendatanya, karena sudah tergolong layak memperoleh bantuan bedah rumah, PKH, dan bantuan sosial lainnya.
Sriharto mengatakan, selain keluarga Yanto, masih ada warga lain yang sama prihatin. Juga tidak tersentuh bantuan sosial dari Pemerintah.
SUKARMI
Posting Komentar