Batu Caba, Batunya Para Wali di Ulubelu, Tanggamus

ULUBELU (30/3/2022) -  Tempatnya cukup jauh. Delapan puluh enam kilometer dari Bandarlampung, setelah melewati Pringsewu, kemudian belok ke kanan ke  arah Batutegi sebelum Talangpadang, lalu lurus lagi ke arah Ulubelu.

Sebelum bablas ke  arah Bandarnegeri Suoh, Lampung Barat, berhenti di Ulu Semong. Harus menyewa atau meminjam trail di sini. Tidak bisa kendaraan roda empat ke sana. Sepeda motor jenis biasa pun bisa jadi urusan.

Tempat yang dituju adalah Batu Caba, yang sering dikaitkan dengan Sekh Muhammad Samman, seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad saw, yang lahir pada Tahun 1718 di Madinah, Arab Saudi dan dimakamkan di Jannatul Baqi, kota yang sama, pada Tahun 1775.

Sekh Muhammad seorang ahlus sunnah wal jamaah dengan paham As’ariyah di bidang tauhid, bermazab Syafii’yah di bidang fikih, dan berpegang pada Junaid al-Bahdadi pada bidang tasawuf. 

Keturunan Nabi Muhammad saw ini populer di Indonesia karena muridnya menyebar dari Sabang, Aceh, hingga Merauke, Papua.

Para ulama yang belajar dengan Sekh Muhammad Saman disebut juga Wali Kutub, seperti Qutb Zaman Syekh muhammad Arsyad al-Banjari, Qutb Maktum Syekh Abul Abbas Ahmad at-Tijani, al-Qutb Syekh Abdussamad al-Palimbani, al-Qutb Syekh Abdul Wahab Bugis, al-Qutb Syekh Abdurrahman al-Batawi, dan al-Qutb Syekh Dawud al-Fathani.

Alkisah, karomah Sekh Muhammad Zaman sampai juga di Tanggamus, di antaranya berupa Batu Caba di Pematang Begelung, Pekon Sirnagalih, Ulubelu, yang dibawa  Sekh Muhammad Kamani Abidi.

Setelah naik trail 30 menit, untuk melihat Batu Caba, perlu lagi naik tangga sekitar satu kilometer, yang dibangun di lingkungan perkebunan kopi tua di sana.

Di kawasan yang disebut petilasan para wali itu sudah dibangun Masjid At-taqwa. Semula bangunannya surau atau tempat shalat, yang berada di perkebunan, pinggir sawah, atau dekat sungai.

Setelah naik trail dan berjalan mendaki, yang pertama dicari pengunjung biasanya pancuran yang tidak pernah kering di sana, untuk menyegarkan muka, atau mengambil wudhu, karena hendak memasuki surau.

Banyak batu berukuran besar di sana, yang tidak dijumpai di tempat lain di kawasan tersebut atau sepanjang perjalanan dari Ulu Semong. Bentuknya persegi, seperti sudah dibelah dan tersusun rapi di lingkungan tersebut.

Batu Caba merupakan batu berukuranpanjang 1,5 meter dan lebar 1 meter. Permukaannya datar karena dulunya dijadikan tempat shalat. 

Pada tahun 1980, saat warga Pekon Sirnagalih berinisiatif mengubah surau menjadi masjid.  Batu caba diletakkan di mimbar. Di pintu masuk para peziarah dihimbau tidak memfoto, rekam video, apalagi berbuat yang aneh-aneh, termasuk berniat buruk.

Pengumuman sengaja dilaminating dan ditempel di pintu masjid karena sejumlah peziarah pernah kesurupan dan diganggu di sana, terutama para remaja yang tidak menaati aturan.

Bangunan masjid terbuat dari papan yang dicat putih. Dinding sebelah kiri dan kanan sengaja dikosongkan sebagai pengganti jendela. Suasana di dalam begitu nyaman. Pepohonan tua di sekitarnya menggoda tubuh untuk tidur, meski jarang dilakukan peziarah di sana.

Agar masjid tetap bersih, para peziarah diberikan tempat istirahat di samping masjid. Di sana disediakan sapu untuk membersihkannya. Tersedia juga teko untuk memasak air. Kenikmatan mengopi di sana berbeda dari tempat lain.

Mbah Kemi, sesepuh Pekon Sirnagalih mengatakan warga sekitar masih menyebut Masjid di sana sebagai Mushola Batu Caba, karena bebatuan di sana diyakini sebagai hasil karya para wali.

Menurut Mbah Kemi, warga menyebut Batu Caba sebagai karomahnya Sekh Muhammad Zaman karena ajarannya dibawa Sekh Muhammad Kamani Abidi ke kawasan tersebut.

Sesepuh Pekon Sirnagalih itu mengatakan Batu Caba mulai dikenal warga Tanggamus dan luar Lampung sejak Tahun 1981. Sejak itu tempat tersebut sering menjadi sarana ziarah.

DEDI KAPRIYANTO DAN ARI IWAN 

0 comments:

Posting Komentar