Ngebolang Telur Semut Rangrang di Gunung Alip, Tanggamus

GUNUNG ALIP (9/7/2021) – Rumahnya sederhananya saja di Pekon Penanggungan, Gunung Alip, Tanggamus. Material umumnya geribik, sebagian sudah dilapis triplek, sudah bersekat dapur dan kamar.

Di sanalah Zailani hidup bersama isterinya Emalia membesarkan 2 anak. Pasangan suami isteri berusia 30 dan 27 tahun itu tampak bahagia, meski tergolong penerima PKH dan penerima bantuan sosial.

Sejak berumah tangga, Zailani hanya memiliki satu pekerjaan: mencari telur semut rangrang, yang juga sering disebut kroto, makanan paling disukai burung-burung kelas seperti murai atau ikan piaraan, dan mujarab untuk bahan memancing.

Tak mudah bagi Zailani mencari kroto. Ia sering menempuh jarak 1 KM untuk mencari di pepohonan tinggi di kebun warga sekitar. Tidak semua pohon pula yang bersemut rangrang. Ia menandainya dari bawah. Jika banyak merayap, berarti memiliki sarang di atas.

Tentu saja Zainali harus rela digigit semut rangrang setiap hari, mulai dari kaki, badan, terutama tangan. Gigitannya jelas tampak membekas. Tetapi dengan mencuci dengan air, ia sudah tidak merasakan gatal lagi.

Zailani hanya maksimal dapat 1 kg kroto sehari. Harganya antaranya Rp80 hingga Rp100 ribu per kg. Sering juga ia hanya dapat 50 atau 60 gram. Pendapatannya pun menjadi hanya Rp50-60 ribu pada hari itu.

Zailani dan Emalia bahagia dengan pendapatan seperti itu. Kebutuhan utama mereka hanya beras. Sayur, ayam, dan ikan, bisa mereka piara di kawasan sekitar.

Bagamana jika anak-anak sudah sekolah? Zailani menyebut soal itu dipikir lagi nanti. Ia berencana  menjadi peternak. Dengan dengan kroto, ayam berkembang jadi puluhan dan sering dipesan orang karena dagingnya berkualitas.

AFNAN HERMAWAN

0 comments:

Posting Komentar